Siapa yang akan menyangka bahwa manusia setampan gue adalah
anak yang ‘cukup’ nakal sewaktu kecil dulu. Gue pernah sok berantem sama
temen-temen, walaupun pada akhirnya gue yang nangis. Gue pernah mencuri ketela
di kebun milik orang lain (Kalau di kebun sendiri namanya panen), kemudian
merasa bersalah dan menanamnya kembali, menyiraminya secara rutin dan memberikan
pupuk.
Ya kali.
Pernah juga gue jajan berlebihan sehingga orangtua menjadi
sangat cerewet. Itu lah nakal versi gue, bagaimana versimu? Ehm.
Adalah temen-temen gue, yang membuat
gue menjadi seperti itu. I blame on you guys. Mereka berjasa sekali membentuk
kepribadian dan perilaku gue sewaktu kecil, yang beberapa masih membekas dan
sulit untuk diubah. Misalnya, makan soto sukanya pake tangan, ga pake sendok.
Gue bersekolah di SDN Leuweungkolot
02. Nama yang cukup seram bagi orang yang tau artinya, dan sangat membuat lidah
kelu tiap dekat kamu buat yang ga bisa bacanya.
You know me so well~.
Di Sekolah dulu, gue berteman dengan semua murid di kelas,
tapi lagi-lagi cuma beberapa orang yang deket banget sama gue, salah satunya
adalah Ricky. Dia adalah seorang dengan pembawaan yang cerdas dan berperawakan
tinggi, gue selalu iri sama tinggi badannya. Pernah suatu ketika tinggi gue
hampir setara dengan dia, namun beberapa waktu kemudian dia kembali
meninggalkan gue dengan kependekan ini.
Kami sangat dekat waktu itu: berangkat bareng, pulang bareng, makan
bareng, main game bareng sambil berduaan di depan monitor berjam-jam, dan ke
mana-mana berdua. Sangat indah, tapi menjijikkan kalau dilakukan di umur gue
yang sekarang ini.
Selain Ricky, ada murid-murid lainnya yang cukup dekat dengan
gue seperti Fikri, Vickry (nama mereka serupa, tapi beda orang), Adam, Fajri, Nurul,
Faisal, dan Egi. Gue seneng banget bisa sekelas sama mereka. Kelas yang sangat
ideal, ada orang ganteng (gue) dan fansnya (teman-teman), ada yang cantik
(cewek yang gue taksir) ada juga orang yang sering dibully. Tapi semua berubah
ketika tiba-tiba di awal kelas tiga, warga kelas digemparkan oleh kedatangan seorang murid baru. Sebenernya bukan cuma dia yang pernah menorehkan
sejarah dengan masuk ke kelas gue dengan status anak pindahan. Tapi dia adalah
salah satu murid pindahan yang bertahan paling lama di sekolah ini dan
menuliskan cerita paling banyak diantara murid-murid pindahan lainnya.
Anak pindahan itu terlihat kurus, tidak terawat, bajunya
compang-camping matanya merah, dan giginya bertaring. Gue udah siap-siap
menelepon polisi karena takut tiba-tiba dia berubah jadi manusia serigala. Ehm.
Kalimat yang tadi gue bohong. Tapi dia memang kurus, berambut pendek dan matanya
sedikit sipit. Tahi lalat timbul di atas bibir di bagian kiri. Raut wajahnya menyiratkan
bahwa dia lumayan ramah untuk diajak berteman. Masing-masing dari kami
tiba-tiba melakukan diskusi dengan teman sekitar. ‘Siapa ya itu?’ adalah sebuah
pertanyaan umum kala itu.
Manusia berambut seperti baru tumbuh bernama Vickry yang
telah lebih dulu mengenal anak tersebut, dengan jumawa berkata ‘Dia kan
tetangga gue!’, suaranya cempreng dan nyaring menggema di ruangan kelas. Gue
dan teman-teman yang duduk sebelahan dengan Vickry terkagum-kagum seraya bilang
‘waaw’ dan ‘oh iya?’ dengan mata berkaca-kaca. Teman-teman yang ada di kursi
belakang kaget karena mengira suara cempreng itu adalah suara kambing,
‘mbeee!’
Vickry yang seakan mendapat sanjungan kemudian
terkekeh-kekeh. Untung kami tidak bertepuk tangan. Karena kalau itu terjadi, mungkin
Vickry akan melompati lingkaran api seperti lumba-lumba di Gelanggang Samudera,
saking senangnya. Kalau diinget-inget, gue menjadi heran sekarang, kenapa waktu
itu gue ikutan kagum. Apa yang keren dari orang yang mengenal murid pindahan
yang ternyata adalah tetangganya sendiri?
Tidak lama kemudian, guru pun masuk ke kelas dan
mempersilahkan anak tersebut untuk memperkenalkan diri.
‘Halo teman-teman’, Kata anak pindahan tadi.
‘Halo,’ Jawab kami serempak.
‘Perkenalkan, nama saya Nanang,’ katanya, grogi.
Kemudian dia kembali ke tempat tidurnya duduknya, dan
dari situlah kejadian-kejadian baru yang seru dimulai.
Hari-hari berlalu, Kami semua menjadi dekat dan hampir
mencapai level ‘sahabat’, sungguh waktu yang relatif singkat. Begitulah
persahabatan ketika usia kita masih belia, kita dapat dengan mudah berteman
asalkan orang tersebut baik dan bisa diajak main. Ribut juga paling cuma karena
‘Lo temenan sama dia? Gue kan ga suka!’ atau ‘Lo bau! Bau ketek!’, kemudian dalam
waktu singkat kita baikan lagi. Tidak ada yang namanya unsur kepentingan dalam
suatu pertemanan seperti yang terjadi ketika kita beranjak dewasa.
Nanang ternyata memang orang yang ramah. Gue dan teman-teman
penasaran, serasa punya ‘mainan’ baru, selalu tertarik terhadap sesuatu yang
ada pada Nanang. Kami pun menanyakan berbagai macam hal tentangnya, mulai dari
‘Kamu dari mana?’, ‘Dulu sekolah di mana?’, atau bahkan ‘Woy! Bagi duit atau
gue tonjok!’, ehm oke, itu malak, bukan nanya.
Dia berasal dari Lamongan, dan sekarang tinggal di daerah
Ciaruteun (Di mana itu? -_-), cukup dekat dari rumah gue. Jadi ga heran kalau
sehabis sekolah, gue dan teman-teman suka main ke tempat Nanang. Dia tinggal di
sebuah rumah kontrakan, rumah yang disewa tidak terlalu besar tapi nyaman dan
para tetangga cukup bersahabat, sehingga tempat tersebut ramai dan seru,
menurut gue.
Lokasinya sangat strategis, dekat dengan jalan raya dan di
depannya terhampar pasir luas yang sering dijadikan tempat bermain sepak bola. Di
lapangan itu sering diadakan kompetisi, dan anak-anak yang ada di lingkungan
tersebut menjadi pesertanya. Di samping kanan rumah Nanang ada pohon-pohon
rindang yang selalu menjadi tempat berteduh saat anak-anak kepanasan bermain
bola. Di belakangnya terdapat berbagai macam pohon dan kebun yang menyejukkan
hati, yang sekarang entah kemana. Hilang. Digantikan tembok-tembok bangunan.
Kontrakan Nanang dan rumah Vickry sangat dekat, mereka sering
bermain bersama. Makanya ga heran, kalau kami ke tempat Nanang, Vickry pun
selalu hadir. Bermain di rumah Nanang sangat mengenyangkan, Ibunya sangat baik
dan selalu memberikan makanan yang lumayan banyak. Itu lah salah satu alasan kenapa
kami selalu datang ke sana. Ngahaha. Biasanya, di rumah Nanang, kami bermain PS
atau menonton DVD. Film yang kami tonton hanya terbatas pada Jurassic Park atau
King Kong, dan kalau bosan kami akan bermain bola di lapangan depan rumahnya. Gue
yang ga bisa tertarik bermain bola, cuma bisa melihat dari kejauhan.
Kalau itu semua belum bisa mengusir rasa jenuh, maka kami
akan bersiap-siap membawa tas berisi air mineral, teropong, dan beragam
‘peralatan’ lainnya. Terinspirasi dari film Jurrasic Park, kami kemudian akan
pergi keluar untuk ‘berpetualang’. Kami juga kadang meniru film king kong.
Vickry yang jadi gorillanya.
Petualangan terbesar yang pernah gue dan temen-temen lakukan
adalah ketika ada tugas dari Guru untuk mengumpulkan beberapa jenis batuan.
Waktu itu, gue, Nanang, dan beberapa orang lainnya berkumpul di markas (Baca :
Rumah Nanang). Jumlah kami waktu itu sekitar tujuh orang, gue lupa. Setelah
berdiskusi, kami sepakat untuk mencari batuan di sebuah bukit dekat rumahnya.
Dekat di sini relatif, sekitar 4-5 Km.
Gue inget, daerah yang kami tuju tersebut adalah tempat dimana
gue dan temen-temen berkemah beberapa waktu sebelumnya. Banyak kejadian
memalukan yang terjadi ketika itu. Seketika gue getir dan ketakutan kalau kalau
teman-teman gue ada yang tau dan mengungkitnya kembali. Hal itu sangat rahasia,
pemirsa. Tidak boleh diceritakan. Kami yang merasa ‘kuat’ dan merasa tempat itu
dekat hanya menyiapkan satu buah botol air 600mL untuk bekal, dan semangat yang
membara.
Tapi, Matahari kala itu sangat terik dan lebih membara.
‘kekuatan’ kami tidak terbukti, bung. Semangat saja pun tidak cukup. Belum
setengah perjalanan, botol yang gue dan teman-teman bawa sekarang sudah kosong.
Tidak mungkin kami mengisinya lagi dengan air di sungai atau air keran.
Segoblok-gobloknya gue dan temen-temen, tentu kami tau resikonya. Bisa-bisa kami
harus menghabiskan waktu untuk bolak-balik ke toilet. Siaga kuning.
Itu pun kalau ada toilet. Kalau ngga ada berarti kami harus
meniru perilaku kucing: Menggali tanah, membuangnya, lalu mengubur semua jejak.
Menghapus kenangan.
Bahkan sempat timbul pertentangan di antara kami. Civil War. Ada kubu yang ingin membatalkan perjalanan ini, ada juga yang bersikeras untuk menyelesaikan tugas yang mulia ini. Di umur yang masih belia, gue dan temen-temen harus merasakan
kejamnya dunia luar dan harus bertahan hidup karena kegoblokan kami sendiri.
Padahal kami sudah diajarkan berhitung. Bagaimana mungkin air 600mL dibagi ke 7
orang anak akan cukup untuk pulang pergi di suhu tinggi dan jarak yang jauh
serta menanjak. ekstrem. Iya, gue anggap itu ekstrem. Lagipula, kami tidak pernah
mendapatkan pelatihan survival di alam liar.
Tapi, entah bagaimana caranya gue dan temen-temen sampai di
tempat yang kami tuju dan mengambil batu yang bisa kami temukan, batu apapun.
Tidak peduli apa jenisnya. Bodo. Kalau bisa nemuin batu akik pun mungkin gue
akan bawa dengan senang hati dan gue jual.
Pada hari pengumpulan, kami tidak mengerti batu jenis apa
yang didapatkan karena waktu itu yang ada di pikiran gue dan temen-temen adalah air,
laper, dan pulang.