Tak terikat hingar bingar kehidupan kota. Part 1

Sabtu, Mei 21, 2016 Unknown 1 Comments



Siapa yang akan menyangka bahwa manusia setampan gue adalah anak yang ‘cukup’ nakal sewaktu kecil dulu. Gue pernah sok berantem sama temen-temen, walaupun pada akhirnya gue yang nangis. Gue pernah mencuri ketela di kebun milik orang lain (Kalau di kebun sendiri namanya panen), kemudian merasa bersalah dan menanamnya kembali, menyiraminya secara rutin dan memberikan pupuk.
Ya kali.
Pernah juga gue jajan berlebihan sehingga orangtua menjadi sangat cerewet. Itu lah nakal versi gue, bagaimana versimu? Ehm.
           Adalah temen-temen gue, yang membuat gue menjadi seperti itu. I blame on you guys. Mereka berjasa sekali membentuk kepribadian dan perilaku gue sewaktu kecil, yang beberapa masih membekas dan sulit untuk diubah. Misalnya, makan soto sukanya pake tangan, ga pake sendok.
            Gue bersekolah di SDN Leuweungkolot 02. Nama yang cukup seram bagi orang yang tau artinya, dan sangat membuat lidah kelu tiap dekat kamu buat yang ga bisa bacanya.
You know me so well~.
Di Sekolah dulu, gue berteman dengan semua murid di kelas, tapi lagi-lagi cuma beberapa orang yang deket banget sama gue, salah satunya adalah Ricky. Dia adalah seorang dengan pembawaan yang cerdas dan berperawakan tinggi, gue selalu iri sama tinggi badannya. Pernah suatu ketika tinggi gue hampir setara dengan dia, namun beberapa waktu kemudian dia kembali meninggalkan gue dengan kependekan ini.  Kami sangat dekat waktu itu: berangkat bareng, pulang bareng, makan bareng, main game bareng sambil berduaan di depan monitor berjam-jam, dan ke mana-mana berdua. Sangat indah, tapi menjijikkan kalau dilakukan di umur gue yang sekarang ini.
Selain Ricky, ada murid-murid lainnya yang cukup dekat dengan gue seperti Fikri, Vickry (nama mereka serupa, tapi beda orang), Adam, Fajri, Nurul, Faisal, dan Egi. Gue seneng banget bisa sekelas sama mereka. Kelas yang sangat ideal, ada orang ganteng (gue) dan fansnya (teman-teman), ada yang cantik (cewek yang gue taksir) ada juga orang yang sering dibully. Tapi semua berubah ketika tiba-tiba di awal kelas tiga, warga kelas digemparkan oleh kedatangan seorang murid baru. Sebenernya bukan cuma dia yang pernah menorehkan sejarah dengan masuk ke kelas gue dengan status anak pindahan. Tapi dia adalah salah satu murid pindahan yang bertahan paling lama di sekolah ini dan menuliskan cerita paling banyak diantara murid-murid pindahan lainnya.
Anak pindahan itu terlihat kurus, tidak terawat, bajunya compang-camping matanya merah, dan giginya bertaring. Gue udah siap-siap menelepon polisi karena takut tiba-tiba dia berubah jadi manusia serigala. Ehm. Kalimat yang tadi gue bohong. Tapi dia memang kurus, berambut pendek dan matanya sedikit sipit. Tahi lalat timbul di atas bibir di bagian kiri. Raut wajahnya menyiratkan bahwa dia lumayan ramah untuk diajak berteman. Masing-masing dari kami tiba-tiba melakukan diskusi dengan teman sekitar. ‘Siapa ya itu?’ adalah sebuah pertanyaan umum kala itu.
Manusia berambut seperti baru tumbuh bernama Vickry yang telah lebih dulu mengenal anak tersebut, dengan jumawa berkata ‘Dia kan tetangga gue!’, suaranya cempreng dan nyaring menggema di ruangan kelas. Gue dan teman-teman yang duduk sebelahan dengan Vickry terkagum-kagum seraya bilang ‘waaw’ dan ‘oh iya?’ dengan mata berkaca-kaca. Teman-teman yang ada di kursi belakang kaget karena mengira suara cempreng itu adalah suara kambing, ‘mbeee!’
Vickry yang seakan mendapat sanjungan kemudian terkekeh-kekeh. Untung kami tidak bertepuk tangan. Karena kalau itu terjadi, mungkin Vickry akan melompati lingkaran api seperti lumba-lumba di Gelanggang Samudera, saking senangnya. Kalau diinget-inget, gue menjadi heran sekarang, kenapa waktu itu gue ikutan kagum. Apa yang keren dari orang yang mengenal murid pindahan yang ternyata adalah tetangganya sendiri?
Tidak lama kemudian, guru pun masuk ke kelas dan mempersilahkan anak tersebut untuk memperkenalkan diri.
‘Halo teman-teman’, Kata anak pindahan tadi.
‘Halo,’ Jawab kami serempak.
‘Perkenalkan, nama saya Nanang,’ katanya, grogi.
Kemudian dia kembali ke tempat tidurnya duduknya, dan dari situlah kejadian-kejadian baru yang seru dimulai.
Hari-hari berlalu, Kami semua menjadi dekat dan hampir mencapai level ‘sahabat’, sungguh waktu yang relatif singkat. Begitulah persahabatan ketika usia kita masih belia, kita dapat dengan mudah berteman asalkan orang tersebut baik dan bisa diajak main. Ribut juga paling cuma karena ‘Lo temenan sama dia? Gue kan ga suka!’ atau ‘Lo bau! Bau ketek!’, kemudian dalam waktu singkat kita baikan lagi. Tidak ada yang namanya unsur kepentingan dalam suatu pertemanan seperti yang terjadi ketika kita beranjak dewasa.
Nanang ternyata memang orang yang ramah. Gue dan teman-teman penasaran, serasa punya ‘mainan’ baru, selalu tertarik terhadap sesuatu yang ada pada Nanang. Kami pun menanyakan berbagai macam hal tentangnya, mulai dari ‘Kamu dari mana?’, ‘Dulu sekolah di mana?’, atau bahkan ‘Woy! Bagi duit atau gue tonjok!’, ehm oke, itu malak, bukan nanya.
Dia berasal dari Lamongan, dan sekarang tinggal di daerah Ciaruteun (Di mana itu? -_-), cukup dekat dari rumah gue. Jadi ga heran kalau sehabis sekolah, gue dan teman-teman suka main ke tempat Nanang. Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan, rumah yang disewa tidak terlalu besar tapi nyaman dan para tetangga cukup bersahabat, sehingga tempat tersebut ramai dan seru, menurut gue.
Lokasinya sangat strategis, dekat dengan jalan raya dan di depannya terhampar pasir luas yang sering dijadikan tempat bermain sepak bola. Di lapangan itu sering diadakan kompetisi, dan anak-anak yang ada di lingkungan tersebut menjadi pesertanya. Di samping kanan rumah Nanang ada pohon-pohon rindang yang selalu menjadi tempat berteduh saat anak-anak kepanasan bermain bola. Di belakangnya terdapat berbagai macam pohon dan kebun yang menyejukkan hati, yang sekarang entah kemana. Hilang. Digantikan tembok-tembok bangunan.
Kontrakan Nanang dan rumah Vickry sangat dekat, mereka sering bermain bersama. Makanya ga heran, kalau kami ke tempat Nanang, Vickry pun selalu hadir. Bermain di rumah Nanang sangat mengenyangkan, Ibunya sangat baik dan selalu memberikan makanan yang lumayan banyak. Itu lah salah satu alasan kenapa kami selalu datang ke sana. Ngahaha. Biasanya, di rumah Nanang, kami bermain PS atau menonton DVD. Film yang kami tonton hanya terbatas pada Jurassic Park atau King Kong, dan kalau bosan kami akan bermain bola di lapangan depan rumahnya. Gue yang ga bisa tertarik bermain bola, cuma bisa melihat dari kejauhan.
Kalau itu semua belum bisa mengusir rasa jenuh, maka kami akan bersiap-siap membawa tas berisi air mineral, teropong, dan beragam ‘peralatan’ lainnya. Terinspirasi dari film Jurrasic Park, kami kemudian akan pergi keluar untuk ‘berpetualang’. Kami juga kadang meniru film king kong. Vickry yang jadi gorillanya.
Petualangan terbesar yang pernah gue dan temen-temen lakukan adalah ketika ada tugas dari Guru untuk mengumpulkan beberapa jenis batuan. Waktu itu, gue, Nanang, dan beberapa orang lainnya berkumpul di markas (Baca : Rumah Nanang). Jumlah kami waktu itu sekitar tujuh orang, gue lupa. Setelah berdiskusi, kami sepakat untuk mencari batuan di sebuah bukit dekat rumahnya. Dekat di sini relatif, sekitar 4-5 Km.
Gue inget, daerah yang kami tuju tersebut adalah tempat dimana gue dan temen-temen berkemah beberapa waktu sebelumnya. Banyak kejadian memalukan yang terjadi ketika itu. Seketika gue getir dan ketakutan kalau kalau teman-teman gue ada yang tau dan mengungkitnya kembali. Hal itu sangat rahasia, pemirsa. Tidak boleh diceritakan. Kami yang merasa ‘kuat’ dan merasa tempat itu dekat hanya menyiapkan satu buah botol air 600mL untuk bekal, dan semangat yang membara.
Tapi, Matahari kala itu sangat terik dan lebih membara. ‘kekuatan’ kami tidak terbukti, bung. Semangat saja pun tidak cukup. Belum setengah perjalanan, botol yang gue dan teman-teman bawa sekarang sudah kosong. Tidak mungkin kami mengisinya lagi dengan air di sungai atau air keran. Segoblok-gobloknya gue dan temen-temen, tentu kami tau resikonya. Bisa-bisa kami harus menghabiskan waktu untuk bolak-balik ke toilet. Siaga kuning.
Itu pun kalau ada toilet. Kalau ngga ada berarti kami harus meniru perilaku kucing: Menggali tanah, membuangnya, lalu mengubur semua jejak. Menghapus kenangan.
Bahkan sempat timbul pertentangan di antara kami. Civil War. Ada kubu yang ingin membatalkan perjalanan ini, ada juga yang bersikeras untuk menyelesaikan tugas yang mulia ini. Di umur yang masih belia, gue dan temen-temen harus merasakan kejamnya dunia luar dan harus bertahan hidup karena kegoblokan kami sendiri. Padahal kami sudah diajarkan berhitung. Bagaimana mungkin air 600mL dibagi ke 7 orang anak akan cukup untuk pulang pergi di suhu tinggi dan jarak yang jauh serta menanjak. ekstrem. Iya, gue anggap itu ekstrem. Lagipula, kami tidak pernah mendapatkan pelatihan survival di alam liar.
Tapi, entah bagaimana caranya gue dan temen-temen sampai di tempat yang kami tuju dan mengambil batu yang bisa kami temukan, batu apapun. Tidak peduli apa jenisnya. Bodo. Kalau bisa nemuin batu akik pun mungkin gue akan bawa dengan senang hati dan gue jual.

Pada hari pengumpulan, kami tidak mengerti batu jenis apa yang didapatkan karena waktu itu yang ada di pikiran gue dan temen-temen adalah air, laper, dan pulang.

1 komentar: